Minggu, 05 Mei 2013

makalah zat khemoterapi



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sejak zaman purbakala orang kuno telah mempraktekkan fitoterapi (Y phytos = tanaman) dengan jalan coba-mencoba (empiris, trial and error). Orang Yunani dan Aztec (di Meksiko) menggunakan masing-masing pakis pria (Filix mas) dan minyak chenopodi untuk membasmi cacing dalam usus. Orang hindu sudah beribu-ribu tahun lalu mengobati lepra dengan minyak chaulmogra dan di Cina serta di pulau Mentawai ( Sumatera barat) sejak dahulu kala borok diobati dengan jamur-jamur tertentu sebagai pelopor antibiotika. Orang Cina dan Vietnam sejak dua ribu tahun lalu menggunakan tanamn qinghaosu (mengandung artemisinin) untuk mengobati malaria, sedangkan suku-suku Indian di Amerika Selatan memanfaatkan kulit pohon kina.pada abad ke-16 air raksa (merkuri) mulai digunakan sebagai khemoterapeutikum pertama terhadap sifilis.
            Kemoterapi modern mulai berkembang pada akhir abad ke -19. Saat itu peneliti Dr. Robert Koch dan Dr Louis Pasteur membuktikan bahwa penyakit diakibatkan oleh bakteri dan protozoa. Dr. Paul Ehrlich adalah sarjana pertama yang melontarkan konsepsi dan istilah kemoterapi dan indeks terapi pada penelitiannya dengan jaringan dan bakteri yang diwarnai dengan anilin dan metilen biru, ia menemukan khasiat bakterisid dari zat-zat warna tersebut. Pada tahun 1891 ia berhasil menyembuhkan hewan yang terinfeksi parasit malaria dengan metilen biru. Kemudian pada tahun 1907 ditemukan obat anti-spirokheta arsfenamin (Salvarsan) yang merupakan obat standar sifilis pada saat itu sampai kemudian terdesak setelah ditemukannya penisilin. Kemoterapeutika penting yang sintesa atas dasar zat-zat warna adalah obat malaria pamaquin dan mepakrin (1930).


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa itu zat khemoterapeutika?
2.      Apa indikasi zat khemoterapeutika?
3.      Bagaimana mekanisme kerja zat khemoterapeutika?
4.      Bagaimana kontra indikasi zat khemoterapeutika?
5.      Apa efek samping dari penggunaan zat khemoterapeutika?
6.      Apa saja contoh dari zat khemoterapeutika?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui definisi zat khemoterapeutika.
2.      Untuk mengetahui penggunaan zat khemoterapeutika pada pengobatan.
3.      Sebagai materi pembelajaran mata kuliah mikrobiologi farmasi

BAB II
ISI
A.    Definisi zat khemoterapeutika
Zat khemoterapeutik adalah zat kimia yang digunakan untuk mengobati penyakit menular (khemoterapi) atau mencegah penyakit (khemoprofilaksis). Khemoterapi sebagai propilaksis (khemopropilakse) pada indikasi yang benar dapat bermanfaat, akan tetapi dalam banyak hal justru tak berguna atau bahkan kadang-kadang membahayakan (infeksi oleh kuman yang resisten, gejala penyakit tertutupi, sensibilasi terhadap khemoterapeutika bersangkutan).
  
B.     Mekanisme Kerja
Khemoterapeutika dapat melakukan aktivitasnya lewat beberapa mekanisme, terutama dengan penghambatan sintesa materi penting bakteri, misalnya dari:
a.       sempurna dan tidak tahan terhadap tekanan osmotis dari plasma dengan akibat pecah. Contohnya : kelompok penisilin,sepalosporin dan vankomisin.
b.      Membrane sel : molekul lipoprotein dari membrane plasma (di dalam dinding sel) dikacaukan sintesanya sehingga menjadi lebih permeable dan zat-zat penting dari isi sel dapat merembas keluar. Contohnya antibiotika polyen (nistatin,ampoterisin) dan imidazol (mikonazol,ketokenazol).
c.       Protein sel : sintesanya terganggu misalnya kloralkenikol, tetrasiklin, aminoglikosida dan makrolida.
d.      Asam-asam inti (DNA,RNA) : rifampisin ( RNA), asam nalidiksat dan kuinolo, IDU dan asiklovir (DNA). Juga termasuk senyawa-senyawa imidazol.
e.       Antagonism saingan. Obat menyaingi zat-zat yang penting untuk metabolisme kuman sehingga pertukaran zatnya terhenti, antara lain sulfonamide, trimetoprim, PAS dan INH.

C.    Penggunaan
Dosis selalu dipilih sedemikian tinggi agar kadar obat ditempat infeksi melampaui MIC-nya untuk kuman (minimum inhibitory concentration)  guna mencapai kadar puncak dalam darah dan jaringan sering kali perlu diawali dengan dosis ganda (loading dose), misalnya pada sulfonamida, doksisiklin dan klorokuin. Atau juga dimulai dengan pemberian parenteral pada infeksi parah dan selanjutnya diteruskan secara oral,misalnya penisilin G, tertrasiklin atau kinin.
Frekuensi pentakaran tergantung dari plasma half-life obat (t1/2) yang seperti telah diuraikan merupakan ukuran untuk kecepatan eliminasinya. Obat dengan masa-paruh pendek perlu diberikan seringkali sampai 5x sehari, sedangkan obat dengan masa-paruh panjang cukup diberikan 1x sehari, bahkan 1x seminggu.
Lamanya terapi dengan khemoterapeutika harus cukup panjang agar menjamin semua mikroorganisme telah mati dan menghindarkan kambuhnya penyakit. Lajimnya terapi diteruskan sampai 2-3 hari setelah gejala hilang. Pengobatan beberapa penykit tertentu perlu dilanjutkan lebih lama,misalnya pada tifus, malaria, TBC, dan endocarditis, bahkan pada lepra kerap kali seumur hidup.

D.    Efek Samping
Penggunaan khemoterapeutika yang sembarangan atau tidak tepat (skema) pentakarannya dapat menggagalkan terapi. Di samping itu juga dapat menimbulkan risiko seperti sensitasi, resistensi, dan suprainfeksi.
Setelah digunakan secra topikal banyak obat dapat menimbulkan kepekaan berlebihan atau sensitasi dan pemakai menjadi hipersensitif. Bila kemudian obat yang sama digunakan secara sistemis (oral atau parenteral), maka ada kemungkinan terjadinya suatu reaksi alergi. Gejalanya berupa gatal-gatal, kemerah-merahan dan bentol-bentol, tetapi kadang-kadang juga lebih hebat seperti demam, kelainan darah, bahkan shock anafilaktis fatal. Karena itu untuk menghindari sensitasi, sebaiknya jangan menggunakan obat-obat demikian dalam sediaan topikal (salep, krim atau lotion). Antibiotika yang terkenal dapat menimbulkan sensitasi antara lain penisilin, kloramfenikol dan sulfanomida. Sebaliknya framisetin, fusidat dan juga tetra-siklin yang jarang sekali menimbulkan sensitasi banyak digunakan topikal. Neomisin dan basitrasin semakin banyak dilaporkan menimbulkan alergi kontak.
Bila antibiotikum digunakan dengan dosis terlampau rendah atau masa terapi kurang lama, cara ini dapat mempercepat terbentuknya suku-suku resisten. Oleh karenanya selalu perlu digunakan dosis cukup tinggi ub=ntuk waktu yang cukup lama. Cara lain untuk mencegah resistensi adalah menggunakan kombinasi dari dua atau tiga obat, khususnya pada tbc, lepra, AIDS dan sebgainya.
Supra-infeksi merupakan infeksi sekunder dengan parasit berlainan yang timbul “di atas” infeksi primer (L. supra = atas). Infeksi terutama terjadi pada penggunaan antibiotika broad-spectrum yang sering kali menggangu keseimbangan antar-bakteri di dalam usus, saluran napas dan saluran urogenital. Suku mikroorganisme yang lebih kuat dan resisten hilang saingannya, menjadi dominan dan menimbulkan infeksi baru. Yang sangat ditakuti adalah supra-infeksi dengan suku Stafilokok resisten, Proteus dan Pseudomonas, begitu pula dengan Candida dan fungi lain. obat-obatan yang dapat menimbulkan suprainfeksi adalah ampisilin, kloramfenikol dan tetrasiklin. Begitu pun obat-obatan yang menekan system-tangkis tubuh (kortikosterioda dan sitostatika) dapat mengakibatkannya.

E.     Contoh-contoh Zat Khemoterapeutika
1.      Sulfonamida
            Sulfonamida merupakan kelompok zat antibakteri dengan rumus dasar yang sama yaitu H2N-C6H4-SO2NHR dan R adalah pelbagai macam substituen (aril atau alkil). Pada prinsipnya senyawa ini dapat digunakan terhadap berbagai infeksi. Namun setelah ditemukannya antibiotika dan zat-zat lain yang lebih efektif (tapi kurang toksis) maka sejak tahun 1980-an indikasi dan penggunaannya semakin berkurang, juga karena banyak kuman telah menjadi resisten terhadap sulfonamida. Meskipun demikian dari sudut sejarah senyawa ini penting karena merupakan kelompok obat pertama yang digunakan secara efektif terhadap infeksi bakteri sistemis.
            Sulfonamida bekerja terhadap sejumlah Gram positif dan beberapa mikroba Gram negative (misalnya sterptokokus, stafilokokus, pneumokokus, meningokokus, coli, Proteus mirabilis dan lain-lain). Mikroba yang resistenadalah enterokokus, spirokhaeta, mikroplasma, riketsia, mikrobakteri dan jamur serta umumnya Salmonella dan Shigella.
Aktivitas dan mekanisme kerja
            Sulfonamida memiliki kerja bakteriostatik yang luas terhadap banyak bakteri Gram positif dan Gram negatif; terhadap Pseudomonas, Proteus dan Streptococcus tidak aktif.
        Sulfonamida bekerja sebagai antimetabolit, yang mengusir secara kompetitif asam p-aminobenzoat yang dibutuhkan bakteri untuk pembentukan asam folat. Mekanisme ini dapat menjelaskan mengapa sulfonamida:
o   Sebagai ‘pendorong’ (bolus) harus diberikan dalam dosis tinggi : untuk dapat mengusir p-aminobenzoat secara kompetitif, harus dicapai kadar sulfonamide yang tinggi dalam darah.
o  Bekerja hanya bakteriostatik dan bukan bakterisid : Walau pun bakteri membutuhkan asam p-aminobenzoat untuk pertumbuhan, kekurangan asam p-aminobenzoat ini tidak akan mematikan mikroba.
o   Untuk hewan dan manusia umumnya tak toksik : karena sel ini tidak dapat mensintesis asam folat sendiri, tetapi bergantung pada pasokan asam folat bersama makanan -sebagai vitamin- , karena itu bagi sel manusia dan hewan sulfonamida tidak merupakan antimetabolit.
Kinetik. resorpsinya dari lambung dan usus baik (kecuali sulfa-usus), PP-nya berkisar antara rata-rata 40% (sulfadiazin), 70% (sulfametazin dan sulfamerazin) dan 85%-97% untuk derivate long-acting sulfametoksipiridazin dan sulfadimetoksin. Kecuali obat-obat dengan pengikat protein (PP) tinggi, difusinya ke dalam jaringan agak baik. Di dalam hati sebagian diinaktifkan lewat perombakan menjadi senyawa-asetilnya yang bersamaan dengan bentuk utuhnya diekskresi melalui ginjal. Kadar sulfa aktif dalam urin adalah 10 kali lebih tinggi daripada kadarnya dalam plasma, maka layak sekali digunakan sebagai desinkfektans saluran kemih.
Indikasi dan kriteria penggunaan
            Akibat meningkatnya galur bakteri yang resisten dan pengembangan antibiotika yang manjur, penggunaan sulfonamida sudah jauh berkurang. Sulfonamida masih digunakan antara lain pada infeksi saluran urin, ulkus molle dan bersama diamino-benzilpirimidin pada berbagai penyakit bakteri.
            Sulfonamida tidak tepat untuk virus (misalnya flu, pilek, campak), pada kenyataannya sulfonamide masih sering digunakan. Karena itu pada tiap pengobatan dengan sulfonamida harus diperhatikan apakah indikasinya tepat. Penggunaan lokal harus dihindari karena bahaya sensibilisasi terutama penanganan beberapa infeksi mata, misalnya trakhom.
Efek samping
            Yang terpenting adalah kerusakan parah pada sel-sel darah yang berupa antara lain agranulositosis dan anemia hemolitis, terutama pada penderita defisiensi glukosa-6-fosfodehidrogenase. Oleh karena itu bila sulfa digunakan lebih dari 2 minggu perlu dilakukan pemantauan darah. Efek samping lainnya adalah reaksi alergi antara lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens-Johnson, sejenis eritrema multiform dengan risiko kematian tinggi terutama pada anak-anak. Selama terapi sebaiknya pasien jangan terlalu banyak terkena sinar matahari. Gangguan saluran cerna (mual, diare, dsb) adakala juga terjadi. Bahaya kristaluria di dalam tubuli ginjal sering terjadi pada sulfa yang sukar larut dalam air seni asam, misal sulfadiazine dan turunannya. Risiko kristalisasi ini sangat diperkecil dengan menggunakan trisulfa, pemberian zat alkali (Natrium bikarbonat) untuk melarutkan senyawa-asetil tersebut atau minum banyak air.
Kontra indikasi
Sulfonamida tidak digunakan pada:
o   Penyakit ginjal dengan kecenderungan pembentukan udem dan insufiensi ekskresi,
o   Pada infusiensi jantung,
o   Pada porfiria akut,
o   Defisiensi bawaan dari glukosa-6-fosfat dehidrogenase,
o   Kerusakan parenkim hati yang parah,
o   Adanya hipersensitivitas terhadap sulfonamide yang diketahui atau timbul selama pengobatan,
o   Perubahan komponen darah.
Pada kehamilan 3 bulan pertama indikasi harus diperhatikan dengan jelas. Selanjutnya sulfonamide tidak digunakan 4 minggu menjelang kelahiran bayi, dengan demikian dalam jangka waktu itu sulfonamide akan diekskresi dari tubuh bayi melalui tubuh ibunya,. Sulfonamide dihindarkan penggunaannya pada bayi yang baru lahir, karena fungsi hati dan ginjal yang belum sempurna, sehingga metabolism dan ekskresi tidak dilaksanakan dengan semestinya. Di samping itu dapat menimbulkan kernikterus yang berbahaya, karena sulfonamide akan mengusir bilirubin dengan ikatannya dengan albumin.
Dosis
            Guna mencapai kadar darah yang cukup tinggi pengobatan harus dimulai dengan loading dose, yaitu dosis ganda dari 1-2 g untuk kemudian disusul dengan 0,5-1 g setiap 6 jam. Derivat-derivat long-acting dapat ditakarkan 1x sehari
2.      INH, Isoniazida (isonikotinhidrazida)
Isoniazida merupakan derivat asam isonikotinat yang berkhasiat tuberkulostatis paling kuat terhadap M. tuberculosis (dalam fase istirahat) dan bersifat bakterisid terhadap basil yang sedang tumbuh pesat. Aktif terhadap kuman yang berada intraseluler dalam makrofag maupun di luar sel (ekstraseluler). Obat ini praktis tidak aktif terhadap bakteri lain.
Mekanisme kerja
            Mekanisme kerja yang diterima adalah isoniazida sebagai molekul yang tidak terionisasi dapat melewati membrane sitoplasma mikobakteri tanpa halangan, di dalam sel akan berubah menjadi asam isonikotinat dan menggantikan tempat asam nikotinat untuk masuk dibangun dalam NAD. Dengan cara ini proses metabolisme dalam bakteri tbc akan diblok.
Indikasi
Indikasi INH adalah untuk bentuk tbc paru-paru dan ekstrapulmonal, dan dipakai juga untuk khemoprofilaksis anak-anak yang mungkin kena infeksi tbc. Seringkali pada bakteri yang secara in vitro sudah resisten ternyata masih dapat dicapai hasil klinik yang baik.

Efek samping
            Pada normal (200-300 mg sehari) jarang dan ringan (gatal-gatal, ikterus), tetapi lebih sering terjadi bila dosis melebihi 400 mg. Yang terpenting adalah polineuritis, yakni radang saraf dengan gejala kejang dan gangguan penglihatan. Penyebabnya adalah persaingan dengan piridoksin yang rumus kimianya mirip INH. Perasaan tidak sehat, letih dan lemah, serta anoreksia adalah lazim pula. Guna menghindari reaksi toksis ini biasanya diberikan piridoksin (vitamin B6) 10 mg sehari bersama vitamin B1 (aneurin) 100 mg.
            Kadang-kadang terjadi kerusakan hati dengan hepatitis dan ikterus yang fatal, khususnya pada orang-orang pengasetilir-lambat (slow-acetylators) terutama bila dikombinasi dengan rifampisin. Kecepatan proses asetilasi yang mempengaruhi kadar obat dalam plasma dan masa-paruhnya, tergantung dari banyaknya asetiltransferase yang pada masing-masing orang berbeda secara genetis. Antasida yang mengandung aluminium dapat mengganggu absorpsi INH.

Dosis
            Dosis isoniazida untuk dewasa dan anak-anak dalam bentuk oral/i.m. adalh 1 dd 4-8 mg/kg/hari atau 1 dd 300-400 mg, atau sebagai single-dose bersama rimfapisin, pagi hari a.c. atau sesudah makan bila terjadi gangguan lambung. Dosis untuk profilaksis adalah 5-10mg/kg/hari.

3.      Kina (kinin)
Kinin adalah alkaloida utama dari pohon kina (Cinchona rubra) yang berasal dari Amerika Selatan dan dimasukkan ke Indonesia di jaman colonial. Dan lebih kurang 20 alkaloida lainnya hanya isomer optisnya, yaitu kinidin, digunakan dalam terapi sebagai obat pereda jantung. Sintesa kinin secara kimiawi sudah diketahui, namun dalam praktek tidak dilaksanakan karena jauh lebih mahal.
Mekanisme kerja
Kinin memiliki banyak kegiatan yaitu:
a.      Anti-Plasmodium. Kinin bekerja sebagai schizontisid darah kuat dan mematikan trofozoit dalam eritrosit. Zat ini juga aktif terhadap gametosit vivax dan malariae, tidak terhadap bentuk-EE sekunder. Oleh karena itu kinin digunakan sebagai kurativum dn suprevisum, terutama pada malaria tropika yang resisten untuk klorokuin (dan meflokuin). Kombinasinya dengan primakuin efektif untuk menyembuhkan secara radikal malaria tersiana dan kwartana yang sering kali kambuh. Pada serangan malaria tropika yang mengancam jiwa diberikan injeksi i.v.
b.      Kerja antipiretis dan analgetis lemah, khususnya pada nyeri otot dan persendian. Karena itu dahulu kinin merupakan komponen dari banyak obat paten influenza. Kini sudah dianggap obsolete karena toksisitasnya.
c.       Kerja oksitosis, yakni kerja kontraksi atas rahim yang mengandung; terkenal sebagai obat pengguguran (abortivum). Tetapi efeknya sangat tidak dapat dipercaya, bahkan pada dosis tinggi bersifat letal.
d.      Spasmolitis, yakni efektif untuk meredakan kejang-kejang malam di betis kaki (restless legs)
Efek samping
            Efek sampingnya pada dosis biasa adalah cinchonisme dan berupa nyeri kepala, pusing, gangguan pendengaran seperti berdesing (tinnitus), tremor, mual dan menggigil. Pada dosis tinggi atau penggunaan lama dapat terjadi ketulian dan gangguan penglihatan, bahkan kebutaan. Jarang terjadi anemia hemolitis dan hepatitis.
Dosis
            Sebagai kurativum terhadap malaria yang resisten untuk klorokuin oral 3 dd 650 mg garam bisulfate selama 5 hari (orang “luar” selama 7 hari). Disusul oleh primakuin 1 x seminggu 45 mg selama 6-8 minggu. Pada malaria tropika akut oral 3 dd 650 mg selama 7 hari, bila terdapat resistensi bersama doksisiklin. Pada malaria tropika parah dimulai dengan injeksi i.v. dari 20 mg/kg berat badan garam kininklorida. Pada restless legs 100-200 mg sebelum tidur.





4.      Asam Nalidiksat
Asam nalidiksat merupakan suatu asam karboksilat naftridin, bekerja baik terhadap bakteri Gram negatif. Asam Nalidiksat berupa bubuk putih atau kuning muda. Kelarutan dalam air rendah sekali, tetapi mudah larut dalam hidroksida alkali dan karbonat. Mikroorganisme yang resisten terhadap asam nalidiksat adalah enterokokus, sterptokokus dan stafilokokus, jenis Pseudomonas, mikobakteria dan jamur. Terhadap jenis yang sensibel seringkali peningkatan resistensi sudah terlihat dalam waktu beberapa hari saja. Setelah penggunaan oral sekitar 80-90% diabsorpsi dengan cepat. Waktu paruhnya 90-120 menit. Ekskresi terjadi hampir seluruhnya melalui ginjal, umumnya dalam bentuk glukuronidanya.
Indikasi
Asam nalidiksat digunakan untuk mengobati infeksi saluran kemih bawah tanpa penyulit (misalnya sistitis akut). Obat ini tidak efektif untuk infeksi saluran kemih bagian atas, misalnya pielonefritis, lebih baik dipakai pada infeksi akut daripada infeksi kronis.
Mekanisme kerja
            Asam nalidiksat merupakan suatu inhibitor girase (zat yang menghambat girase). Girase merupakan enzim bakteri, yang setelah pembelahan bakteri, bekerja pada pembentukan lipatan DNA bakteri (pembentukan spiral, super coiling). Asam nalidiksat ini menghambat sintesa bakteri hingga bakteri tidak bisa masuk ke dalam fase istirahat sehingga bakteri tersebut mati (bekerja secara bakterisid).
Efek samping
            Efek samping dari penggunaan asam nalidiksat yang diamati adalah gangguan gastrointestinal (nausea, nyeri pada lambung, diare) dan gangguan sistem saraf pusat (sakit kepala, pusing, gangguan tidur, keadaan terstimulasi, depresi) dan reaksi alergi.

Dosis
            Dosis asam nalidiksat untuk orang dewasa adalah 4 kali 500 mg/hari.

5.      Nitrofurantoin
Nitrofutrantoin adalah antiseptic saluran kemih derivat furan obat ini efektif untuk kebanyakan kuman penyebab infeksi saluran kemih seperti E. coli, Proteus sp, Klebsiella, Enterobacter, Enterococcus, Streptococcus, Clostridia dan B. subtilis. Untuk Proteus mirabilis dan Pseudomonas obat ini kurang efektif. Resistensi dapat berkembang melalui pemindahan plasmid.
Indikasi
            Nitrofuran diserap dengan cepat dan lengkap melalui saluran cerna. Pemberian obat bersama makanan bukan hanya mengurangi kemungkinan terjadinya iritasi lambung tapi juga mempertinggi bioavailibitasnya. Nitrofurantoin tidak boleh diberikan pada penderita gagal ginjal. Nitrofurantoin menyebabkan urin berwarna agak coklat.
Mekanisme Kerja
            Nitrofurantoin bekerja dengan cara menghambat metabolisme karbohidrat melalui system enzim dan dengan cara menghambat inisiasi translasi DNA pada bakteri.
Efek Samping
            Efek samping yang terjadi yaitu sakit kepala, pusing, rangsangan muntah dan kadang-kadang fibrosis paru-paru interstitial juga neuropati perifer terutama pada gangguan ekskresi melalui ginjal. Dibandingkan dengan nitrofurazon, reaksi alergi jarang terjadi. Nitrofurantoin tidak diberikan kepada penderiata gangguan fungsi ginjal yang parah, neuritis dan polyneuritis. Untuk bayi sampai usia 3 bulan, nitrofurantoin tidak dapat digunakan karena kemungkinan adanya bahaya anemia hemolitik. Efek samping lain yang mungkin timbul adalah kelainan neurologic seperti sakit kepala, vertigo, kantuk, nistagmus dan nyeri otot. Kelainan-kelainan lain bersifat sementara.
Dosis
            Dosis nitrofurantoin untuk orang dewasa adalah 3-4 kali 50-100mg/hari. Untuk anak diberikan dosis 5-7 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam beberapa dosis.

6.      Asiklovir: acycloguanosine, Zavirax
Derivat-guanosin (asikloguanosin) ini (1981)berhasiat spesifik terhadap virus herpes tanpa mengganggu fisiologi sel-sel tuan rumah. Mekanisme kerjanya khas,yakni obat baru menjadi aktif setelah di fosforilasi oleh enzim tymidinkinase,yang khusus terdapat dalam zat-zat yang terinfeksi virus. Acyclovirtrifosfat yang terbentuk digunakan oleh virus untuk membangun DNA-nya. Dengan demikian,pembentukan DNA virus dikacaukan dan terhenti sama sekali, sedangkan pembentukan DNA dari sel-sel tuan rumah tidak terganggu. Terutama digunakan pada semua infeksi dengan herpes simplex dan Herpes zoster, terapi tidak memusnakannya. Kombinasi dengan zidovudin dapat bekerja sinergitis. Resorpsinya dari usus buruk dengan BA hanya 12-20%, maka pentangkaran oral perlu tinggi sekali. PP-nya rata-rata 21% plasma-t1/2-nya lebih kurang 3 jam. eksresinya untuk lebih kurang 75% secara utuh dengan kemih. Bersifat cukup lipofil untuk dapat melintasi CCS, maka juga di gunakan pada infeksi otak (encephalitisherpetica) sebagai infuse.
Mekanisme Kerja
            Asiklovir merupakan analog 2`-deoksiguanosin. Asiklovir adalah suatu prodrug yang baru memiliki efek antivirus setelah dimetabolisme menjadi asiklovirtrifostat.
            Langkah yang penting dari proses ini adalah pembentukan asiklovir monofosfat dikatalisis oleh timidin kinase pada sel hospes yang terinfeksi oleh virus herpes atau varicella zoster atau oleh fosfotransferase yang dihasilkan oleh sitomegalovirus. Kemudian enzim seluler menambahkan gugus fosfat untuk membentuk asiklovir difosfat dan asiklovir trifosfat. Asiklovir trifosfat menghambat sintesis DNA virus dengan cara virus dengan cara berkompetisi dengan 2`-deoksiguanosin trifosfat sebagai substrat DNA polimerase virus. Jika asiklovir (dan bukan 2`-deoksiguanosin) yang masuk ke tahap replikasi DNA virus, sintesis berhenti. Inkorporasi asiklovir monofosfat ke DNA virus bersifat irreversibel karena enzim eksonuklease tidak dapat memperbaikinya. Pada proses ini, DNA polimerase virus menjadi inaktif.
Indikasi
            Infeksi HSV-1 dan HSV-2 baik lokal maupun sistemik (termasuk keratitis herpetic, herpetic ensefalitis, herpes genitalia, herpes neonatal dan herpes labialis) dan VZV (varicella dan herpes zoster). Karena kepekaan asiklovir terhadap VZV kurang dibandingkan dengan HSV, dosis yang diperlukan untuk terapi kasus varicella dan zoster jauh lebih tinggi daripada terapi infeksi HSV.
Efek Samping
Berupa gangguan lambung-usus, ruam kulit dan pusing-pusing. Adakalanya anoreksia, sukar tidur dan nyeri sendi. Penggunaan lokal sebagai salep dapat menimbulkan nyeri untuk semnetara, rasa terbakar, gatal-gatal dan erythema, di mata: radang pinggir kelopak mata dan radang selaput mata.
Dosis
             Infeksi HSV: oral 5dd 200mg setiap 4 jam  selama minimal 5jam sehari. Profilaksis Herpes genitalis :4 dd 200mg, H.zoster: 5 dd 800mg setiap 4 jam selama 7 hari. Infuse i.v. 3 dd 5 mg/kg (perlahan) selama 5 hari. Salep kulit 5% dan salep mata 3% 5 dd setiap 4 jam selama 5 hari.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Zat khemoterapeutik adalah zat kimia yang digunakan untuk mengobati penyakit menular (khemoterapi) atau mencegah penyakit (khemoprofilaksis). Khemoterapi sebagai propilaksis (khemopropilakse) pada indikasi yang benar dapat bermanfaat, akan tetapi dalam banyak hal justru tak berguna atau bahkan kadang-kadang membahayakan (infeksi oleh kuman yang resisten, gejala penyakit tertutupi, sensibilasi terhadap khemoterapeutika bersangkutan).Zat khemoterapeutika yang pertama kali disintesis adalah salvarsan (606) oleh Paul Ehrlich pada tahun 1910. Contoh dari zat khemoterapeutika adalah solfanamida, isoniazida, nitrufurantoin, asam nalidiksat, kina (kinin) dan asiklovir.












DAFTAR PUSTAKA
Bagian farmakologi fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Gaya baru : Jakarta
Bagian farmakologi fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Gaya baru : Jakarta
Mutschler, Ernest.1991. Dinamika Obat “Farmakologi dan Toksikologi” Edisi Kelima. ITB Press: Bandung
Drs. Tan Hoan Tjay & Drs. Kirana Rahardja.2007.Obat-obat Penting.Elex